Monday, August 27, 2007

Doa Bagi Bangsa

Sabtu kemaren gue ke P3M [25.08.07], tapi gak ikut acaranya, cuma di depannya aja. Sementara acara Sabtu kemaren adalah Praise & Prayer. Acara dipimpin Ev.Sobi, dan di depan aula gue masih bisa dengar pokok-pokok doa yang disebutkan.

Salah satu pokok doa yang akhirnya membuat gue nulis ini adalah mendoakan bangsa dan negara ini, Indonesia. Ev.Sobi mengajak para pemuda untuk mendoakan bangsa ini, mendoakan beberapa hal yang memang sedang dibutuhkan negara ini, yaitu pemulihan.

Yang menarik adalah, bukan cuma ajakan untuk mendoakan, tapi Ev.Sobi juga mengingatkan, bahwa mungkin selama ini kita sebagai warga negara hanya bisa mengkritik, mencemooh bahkan mengumpat dan kalo “perlu” menyumpahi pemerintah. Dan sebagai orang beriman, kita malah lupa atau bahkan tidak mau mendoakan negara ini. Entah karena memang tidak suka sama negara ini atau memang tidak peduli.

Yang lebih parah lagi, mungkin kita berharap kita tidak ada di negara ini. Padahal setiap orang sudah ada dalam rencana Tuhan. Termasuk ketika kita “ditempatkan” di sebuah negara, itu adalah rencana Tuhan. Ngomong kasarnya, itu adalah maunya Tuhan dan yang artinya, Tuhan punya maksud bagi kita dan negara kita berada.

Permasalahannya, apakah kita mau berjalan dalam rencana Tuhan?

Terkadang kita berpikir, sebagai warga negara, lebih aman kalo kita diam aja. Paling nggak kita tidak akan merasa “direpotkan” dengan hal-hal yang menurut kita gak penting. Tapi kenyataannya, bukankah setiap kita penting di mata Tuhan? Dan itu berarti semua yang ada juga penting, termasuk negara ini.

Itulah sebabnya, sebagai orang beriman, sudah sepatutnya kita turut memikirkan dan bahkan bertanggung jawab atas negara ini. Memang banyak hal yang kita lihat salah di negara ini. Tapi kalo cuma mengumpat, apa yang akan berubah? Tidak ada.!

Mencintai negara ini adalah sikap yang jauh lebih baik. Hal ini akan membuat kita berpikir, apa yang bisa kita lakukan bagi bangsa ini? Karena paling tidak, sampai kapan pun kita tetaplah warga Indonesia, atau bagaimanapun kita tetaplah orang Indonesia. Mau tidak mau, untuk suatu keberhasilan bersama, bukankah lebih baik semua orang turut berperan di negara ini?

Memang peran yang paling menonjol yang ada di negara ini adalah berperan dalam menghancurkan negara sendiri. Semua orang berlomba-lomba untuk korupsi, manipulasi dan cari sensasi. Tapi yang berperan positif juga tidak kalah banyaknya kok. Hanya saja mereka bukanlah orang yang suka cari sensasi.

Untuk itulah perlu lebih banyak orang lagi yang harus berperan dalam hal yang positif ini. Terlebih lagi bagi orang beriman, yang mana kita percaya bahwa Tuhan punya rencana bagi kita dan bangsa ini. Sudah barang tentu untuk menggenapi hal ini, kita perlu bergerak, bukan cuma berdiam diri. Dalam acara Sabtu kemaren, kita diajak minimal untuk senantiasa mendoakan bangsa ini, dan tentunya mendoakan dengan tulus dan penuh cinta pada bangsa ini.

Beberapa tulisan yang pernah gue buat, juga sering mengkritik negara ini, khususnya mengkritik para pelaku yang bersikap semaunya. Tapi sebenarnya gue berharap apa yang gue tulis itu bisa menjadi perhatian, walaupun untuk sedikit orang, bahwa apa yang terjadi di negara ini memang perlu diperhatikan, bukan di-peduli-amat-kan.

Overall, yang menjadi concern gue adalah, bagaimana kita peduli. Terlebih lagi peduli secara rohani, peduli secara bahwa kita adalah orang beriman. Yang mana, mungkin sekali Tuhan punya rencana ajaib dari diri kita. Bukan tidak mungkin hanya karena seseorang atau kelompok yang kecil bisa berperan penting dalam masalah yang besar dan rumit ini.

Berkutat pada diri sendiri dan lingkungan yang itu-itu saja terlebih lagi dengan masalah yang itu-itu juga, hanya akan membuat rutinitas yang berujung kejenuhan dan nggak jarang membuat kita hopeless. Tapi berkutat pada hal yang lebih luas, bisa memberikan kita sebuah “kekayaan” iman yang tidak terpikirkan oleh kita sebelumnya.

Tuesday, August 21, 2007

Akeelah and the Bee

Kamu tahu, perasaan di mana semuanya merasa benar?
Di mana kau tidak harus mengkhawatirkan hari esok atau kemarin,
tapi kau merasa aman dan tahu kau berusaha sebaik mungkin?
Ada sebuah kata untuk perasaan itu.
Itu disebut CINTA.

You know that feeling where everything feels right?
Where you don’t have worry about tomorrow or yesterday,
but you feel safe and know you’re ada doing the best you can?
There’s a word for that feeling.
It’s called Love. L-O-V-E
=Akeelah and the Bee=

Monday, August 20, 2007

Masih Sama

17 Agustus 2007, hari peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke 62.

Jalan-jalan banyak yang ditutup, entah untuk pawai tingkat kota, ataupun juga acara lomba-lomba antar RT.

Sejenak hari itu Indonesia tampak semarak. Entah pula karena memang bersyukur kalo Indonesia adalah negara merdeka. Atau emang taunya 17 Agustus itu adalah hari lomba nasional.

Tapi sepertinya nggak ada perubahan signifikan yang terjadi di negara ini.

Rutinitas nasional masih menjadi bahan berita. Bisa dipastikan, keesokan harinya, halamanan depan koran nasional memuat berita dan photo upacara pengibaran bendera di Istana Negara ataupun dibeberapa kantor pemerintahan.

Sudah barang tentu foto wajib adalah ketika Presiden menerima Bendera Pusaka dari seorang Paskibra, yang entah kenapa hampir semua pembawa Bendera Pusaka adalah wanita – mungkin karena yang membuat bendera pusaka pertama adalah wanita – dan nama serta sekolah nya pasti dicantumkan pula.

Halaman lain biasanya akan memuat pula kritikan kepada pemerintah dalam bentuk karikatur yang umumnya tentang “kamajuan” yang sudah dicapai.

Kalo kita melongok keluar. Melihat situasi di luar sana. Dan bukan cuma ikut meramaikan lomba. Mungkin kita akan bisa merasakan secara langsung, semuanya masih sama.

Pedagang bendera mulai merapikan bendera-bendera dagangannya yang tidak terjual. Pedagang minuman masih dengan gerobak yang sama, dan berharap pawai akan menambah omsetnya, walau pun cuma sehari itu.

Warga yang tidak ikutan lomba, sudah pasti akan “menjajah” mall dan taman hiburan, walaupun hanya sekedar windows shoping. Mumpung libur kata mereka.

Alhasil, sesaat mungkin ada perubahan. Yang ingin libur, terlaksana. Yang jualan, omset naik. Yang bersilahturahmi antar warga, ikut meramaikan lomba. Yang lainnya, mungkin nonton tivi dengan siaraan utama upacara bendera atau show-show lagu kebangsaan.

Keesokan hari nya lagi. Semuanya kembali seperti semula. Semua kembali berjuang untuk melawan kesulitan hidup. Bahkan orang suksesnya tetap perlu berjuang di negara merdeka ini.

Masih Sama

17 Agustus 2007, hari peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke 62.

Jalan-jalan banyak yang ditutup, entah untuk pawai tingkat kota, ataupun juga acara lomba-lomba antar RT.

Sejenak hari itu Indonesia tampak semarak. Entah pula karena memang bersyukur kalo Indonesia adalah negara merdeka. Atau emang taunya 17 Agustus itu adalah hari lomba nasional.

Tapi sepertinya nggak ada perubahan signifikan yang terjadi di negara ini.

Rutinitas nasional masih menjadi bahan berita. Bisa dipastikan, keesokan harinya, halamanan depan koran nasional memuat berita dan photo upacara pengibaran bendera di Istana Negara ataupun dibeberapa kantor pemerintahan.

Sudah barang tentu foto wajib adalah ketika Presiden menerima Bendera Pusaka dari seorang Paskibra, yang entah kenapa hampir semua pembawa Bendera Pusaka adalah wanita – mungkin karena yang membuat bendera pusaka pertama adalah wanita – dan nama serta sekolah nya pasti dicantumkan pula.

Halaman lain biasanya akan memuat pula kritikan kepada pemerintah dalam bentuk karikatur yang umumnya tentang “kamajuan” yang sudah dicapai.

Kalo kita melongok keluar. Melihat situasi di luar sana. Dan bukan cuma ikut meramaikan lomba. Mungkin kita akan bisa merasakan secara langsung, semuanya masih sama.

Pedagang bendera mulai merapikan bendera-bendera dagangannya yang tidak terjual. Pedagang minuman masih dengan gerobak yang sama, dan berharap pawai akan menambah omsetnya, walau pun cuma sehari itu.

Warga yang tidak ikutan lomba, sudah pasti akan “menjajah” mall dan taman hiburan, walaupun hanya sekedar windows shoping. Mumpung libur kata mereka.

Alhasil, sesaat mungkin ada perubahan. Yang ingin libur, terlaksana. Yang jualan, omset naik. Yang bersilahturahmi antar warga, ikut meramaikan lomba. Yang lainnya, mungkin nonton tivi dengan siaraan utama upacara bendera atau show-show lagu kebangsaan.

Keesokan hari nya lagi. Semuanya kembali seperti semula. Semua kembali berjuang untuk melawan kesulitan hidup. Bahkan orang sukses pun tetap perlu berjuang di negara merdeka ini.

Friday, August 10, 2007

What's up bro.!!

Anjrit.!! kok jadi sentimentil gitu gue..?!!
What's up bro... Com'on there's still be hope.. rite.!!

Saat Itu dan Nanti

Saat itu...
Aku berharap, sang waktu mau sepaham dengan ku. Aku berharap, sang waktu mau memperlambat perputarannya. Aku berharap. Sejenak kulihat jam yang terpampang di depan ku. Dan saat itu pula harapanku buyar. Sang waktu tidak sepaham dengan ku, dia tetap berjalan sesuai kehendaknya. Seolah sang waktu tidak memberi ku kesempatan untuk menatap wajah manisnya lebih lama.

Saat itu...
Emm..tidak..sebelum saat itu. Seakan aku tahu bahwa saat itu mungkin kali terakhir aku bisa menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Dan memang apa yang aku duga, sepertinya terjadi saat itu. Apa yang ku duga, tapi bukan yang ku harapkan.

Saat itu...
Oh my gosh... sepertinya baru kali itu aku berani menatapnya lama. Menatap dengan perasaan yang berbeda. Ya.. kau menatapnya, bukan melihatnya. Dan aku tahu, dia begitu manis dan indah. Sayangnya, saat itu mungkin waktu nya belum sejalan dengan waktu ku. Aku hanya bisa merekam dalam pikiranku dan kupastikan tak akan pudar dalam ingatan ini.

Saat nanti...
Aku masih berharap, bahwa saat itu bukanlah yang terakhir aku bisa menatapnya. Mungkin ada waktunya nanti aku bisa menghabiskan waktu bersamanya lagi. Duduk bersama & berbincang bersama. Saat nanti mungkin akan aku rindukan dan aku nantikan. Walaupun entah kapan. Selama ada pengharapan, itu sudah membuatku senang.

Saat nanti...
Aku masih berharap bisa ku gapai tangannya dan membawanya ke dada ini. Supaya dia tahu bahwa cinta ini masih tetap ada. Dan ketika itu, aku berharap waktu nya sudah sejalan dengan waktu ku.

Saat nanti...
Ketika nanti itu ada.

Thursday, August 09, 2007

Sebuah Persinggahan

Dalam sebuah perjalanan, kerap kali kita harus berhenti sejenak. Apalagi kalo perjalanan yang kita jalani sudah cukup jauh dan melelahkan. Berhenti sejenak dipersinggahan sungguh suatu hal menyenangkan. Paling tidak itulah bayangan kita. Sebuah persinggahan yang menyediakan fasilitas untuk melepas lelah dan penat. Dan mungkin sebuah tempat yang indah untuk dilihat. Yang akhirnya bisa mengembalikan semanggat dan tenaga kita untuk melanjutkan perjalanan baru.

Itulah bayangan kita... dan harapan kita.

Hanya saja belum tentu apa yang kita bayangkan menjadi kenyataan. Tidak semua tempat persingahan sama. Dan kali ini, mungkin kita menemukan apa yang jauh dari bayangan kita.

Tapi perjalanan sudah begitu jauh, dan bagaimana pun juga kita harus berhenti. Entah itu berhenti untuk waktu yang lama atau hanya sejenak. Kita tidak mungkin memaksa diri untuk terus berjalan dan hanya berharap akan mememukan perhentian yang indah. Sampai kapan?

Ketika waktunya tiba, dimanapun perhentian itu, harus kita singgahi. Paling tidak bisa menjadi suatu tempat bagi kita untuk mengambil keputusan dan rencana berikut. Rencana bagaimana meneruskan perjalanan yang sudah cukup jauh ini, atau mungkin harus kembali memulai perjalanan dari awal.

Tapi terkadang hanya berharap sudah cukup membuat perjalanan ini indah.