Thursday, April 05, 2007

36 AD

Hari ini aku tidak berencana bangun pagi. Kalaupun mau mengembalakan domba, aku berencana agak siangan. Tapi, entah hari apa saat ini, seingatku bukanlah hari penting atau hari perayaan di kota ku. Kalau pun ada sepertinya masih dua hari lagi. Apa budaya kota ku mulai berubah hari ini? Entahlah…

Yang pasti di luar sana, suara itu begitu gaduh. Seakan seluruh penduduk kota keluar rumah untuk sebuah perayaan… atau menyaksikan sebuah kejadian. Kejadian yang begitu dasyat tentunya, yang bisa membuat seluruh penduduk kota keluar. Yang tentunya memaksaku juga untuk membatalkan rencana bangun siang.

Seingatku, waktu masih cukup pagi. Tapi orang ada di jalanan utama kota ku, sudah penuh sesak. Aku masih meraba-raba dan mencoba mengingat, apakah sebelumnya ada pengumuman dari pejabat kota, bahwa hari ini adalah hari penting. Seingatku tidak…

Aku tidak sempat bertanya, karena suasana begitu ramai dan gaduh. Sulit rasanya mengalihkan perhatian orang pada pertanyaanku. Aku hanya bisa melihat mereka berteriak-teriak, hampir semuanya meneriakkan kata-kata yang sama, hanya saja saling sahut menyahut, tidak serempak. Tidak sedikit pula aku lihat perempuan-perempuan menangis…

Sampai beberapa menit kemudian, aku masih tidak tahu apa atau siapa yang mereka teriaki dan tangisi. Sampai akhirnya suara cemeti itu membelah kegaduhan mereka-mereka yang berteriak… Sedetik kemudian aku sadar, dia lah yang mereka teriaki dan tangisi. Tapi pada detik yang sama, aku masih tidak mengerti, seberapa pentingnya orang ini, sampai seluruh penduduk kota ingin menggiringnya ke tempat akhir hidupnya?

Seingatku, belum pernah ada penjahat yang diantar ke bukit itu oleh seluruh penduduk kota. Paling banter, hanya anggota keluarganya, itu pun kalau mereka tidak merasa malu. Tapi orang ini.? Kejahatan apa yang sudah diperbuatnya? Seingatku lagi, tidak pernah ada berita tentang kejahatan yang begitu besar yang terjadi di kota ini.

Aku semakin penasaran, siapakah orang ini? Sebentar lagi dia akan melewati tempat ku berdiri….

Astaga.?!! Kalaupun aku pernah tahu siapa orang ini, aku pasti tidak akan mengenalinya. Seluruh wajah dan tubuhnya bisa kupastikan rusak… Kalaupun dia sahabatku, aku pun tidak bisa mengenalinya. Darah sudah bercampur peluh, tanah dan debu jalanan. Dan entah campuran apalagi yang melekat di wajah dan tubuhnya. Karena sepanjang jalan ini saja, entah sudah berapa banyak orang meludahinya, entah sudah berapa banyak buah busuk yang dilempar ke arahnya. Pemandangan yang tidak akan dilupakan siapapun, bahkan penjahat kelas berat pun, belum pernah disiksa seberat ini dipenjara.

Sungguh, aku tidak mengenalnya. Tapi ramainya orang yang “mengantar” membuat ku ingin mengetahuinya.

“Siapa orang ini..?”, tanya ku pada orang yang ada di sebelahku.

“Hah..?!! Apa…?!! Woi.. Salibkan dia.!! Salibkan dia..!! Bantai.!! Bunuh.!!”, teriak orang itu tidak menjawab pertanyaanku. Tapi aku mulai menangkap kata-kata yang diteriakan orang-orang sepanjang jalan ini. Salibkan dia.. Bantai.. Bunuh.. Ada lagi yang berteriak… Penghujat…

“Hei..siapakah orang ini..?”, tanyaku lagi.

“Heh..? Kau tidak tahu.?!! Dia Yesus..!! Nabi palsu yang sudah menghujat Allah kita..!!”, akhirnya dia menjelaskan.

Yesus..? pikirku. Yesus dari Nazaret itu.?? Apa tidak salah? Aku pernah mengikutiNya beberapa kali. Aku pernah mendengarkan pengajaranNya, karena memang Dia nabi, paling tidak itu yang kutahu. Selama ini tidak pernah aku menilai bahwa apa yang

Dia katakan salah. Bahkan aku pernah menyaksikan Dia menyembuhkan banyak orang sakit dan cacat. Setahu ku, itu tidak salah.

Kalau dikatakan Dia menghujat Allah, tidak pernah aku dengar hal itu dari mulutNya. Bahkan Dia selalu mengatakan bahwa Allah akan membebaskan manusia dari dosa. Dia sepaham dengan Allah yang aku kenal. Jadi dimanakah letak menghujatnya.?

Memang Dia pernah mengatakan, bahwa Dia adalah jalan menuju Bapa di sorga. Dan bahwa tidak seorang pun bisa ke sorga, kalau tidak melalui Dia. Apakah ini yang mereka katakan menghujat.? Entahlah… Untuk hal yang satu ini akau memang belum paham. Sama belum pahamnya aku, kenapa Dia harus dihukum senista itu.

Masih ingat di pikiran ku, ketika Dia memasuki kota ini dengan keledai putih. Seluruh penduduk kota menyambutnya. Jalan-jalan utama kota ini, sama seperti hari ini, penuh disesaki orang-orang yang menyambutNya. Kota ini begitu indah waktu itu. Semua orang menyambutNya dengan daun palem, gambus dan kecapi, bahkan aku turut mengelar jubahku sebagai alas jalan begi keledai Nya. Anak ku ikut belari dibelakangNya sambil melambaikan daun pelem. Istriku turut menari bersama perempuan-perempuan lain.

Sungguh, seperti peyambutan raja yang kembali dari medan perang dengan membawa kemenangan.

Tapi hari ini, sepertinya ada yang sama, keramaian yang sama, bahkan hampir semuanya adalah orang-orang yang sama. Hanya saja tindakannya berbeda. Aku tidak mengerti, kesalahan apa yang diperbuatNya, sampai-sampai banyak orang berbalik mengecamNya dan menginginkan Dia mati. Mati dengan tidak terhormat.

Sungguh.. aku tidak mengerti, tapi aku tahu, Dia tidak bersalah.

LangkahNya semakin pelan, tapi tidak berhenti. Bukan karena Dia tidak mau berhenti. Tapi sorot mataNya mengatakan, bahwa perjalanan ini harus diselesaikan. Sorot mata yang kuingat, dalam keletihanNya dan kesakitanNya, mata itu tetep teduh dan penuh kasih. Jalan semakin menanjak. Aku tahu, semakin berat Dia memikul salibNya. Semakin sakit seluruh tubuhNya, bahkan hatiNya… Sementara, orang-orang tak henti-hentinya meneriakinNya.

Bahkan sampai di puncak bukit, massa masih meneriakiNya. Dia tetap diam, entah diam karena menahan sakit, atau mungkin diam karena kasih. Sesekalinya Dia bersuara mungkin ketika paku besar itu ditancapkan ke tangan dan kakiNya. Kali ini aku yakin, itu suara kesakitan yang luar biasa.

Orang-orang mulai terdiam ketika salib diangkat. Tidak mudah mengkat salib yang besar itu dengan tubuh yang menggantung di atasnya. Butuh teknik tersendiri dan orang-orang yang kuat untuk mengangkatnya. Semua terdiam. Sesekali Dia mengeluarkan suara lagi, suara kesakitan… kesakitan yang amat sangat.

Dalam waktu hitungan detik, salib itu sudah berdiri kokoh. Kembali orang-orang berteriak, kali ini teriakan bersorak, seakan keinginan mereka sudah tercapai. Ya.. memang itulah yang mereka inginkan.

Aku.? Apa yang aku inginkan? Aku tidak tahu. Hanya saja batinku berkata… Dia tidak bersalah.

Aku memutuskan kembali ke rumah. Dengan langkah gontai, kutinggalkan bukit itu. Sejenak kulihat ke belakang. Seorang tentara sedang menyodokan sesuatu ke mulutNya.. entah apa…

Jalan utama yang tadi penuh sesak, sekarang sudah sepi. Tampak jelas bekas-bekas darah yang sudah mengering ada di sepanjang jalan ini.

Sepanjang jalan, aku hanya bisa berpikir… entah kenapa orang-orang itu menyalahiNya. Bukankah selama ini mereka juga sudah bersama dengan Dia. Mereka saja bisa berpaling, padahal sudah mengenalNya. MengenalNya sebagai Yesus, nabi dari Allah. MengenalNya sebagai pemberi mujizat.. mujizat dari Allah. MengenalNya sebagai pemberi damai.. damai dari Allah.

Tapi mereka masih bisa berpaling. Bagaimana dengan orang-orang yang belum mengenalNya? Yang aku tahu, mereka harus diberitakan. Diberitakan tentang siapa Yesus sebenarnya. Jangan sampai mereka mendengar kabar lain yang bukan sebenarnya. Kabar yang justru membuat mereka berpaling sebelum mereka mengenalNya.

Karena aku tetap yakin, bahwa Dia benar, bahwa dia adalah jalan keselamatan…

Mungkin itu sebabnya Dia harus mati disalib.